WARSAWA, KOMPAS.com - Piala Eropa, seperti juga pesta olahraga akbar lainnya, tak lepas dari pengaruh konflik politik, khususnya pertikaian antarnegara. Perseteruan politik menyebabkan tim membatalkan keikutsertaannya apabila berhadapan dengan kesebelasan dari negara yang menjadi lawan politik.
Pagi-pagi digelar, penyelenggara Piala Eropa pertama di Perancis sudah menuai persoalan permusuhan antarnegara. Tim nasional Spanyol ogah bertandang ke Uni Soviet untuk menghadiri laga penyisihan. Saat itu, Spanyol dipimpin Jenderal Fransisco Franco.
Sikap Franco dilatarbelakangi masa lalu. Diktator itu adalah pemenang perang saudara Spanyol yang terjadi pada 1936-1939. Sementara Uni Soviet berperan sebagai penunjang utama Republik Spanyol Kedua, yang adalah lawan politik Franco.
Ketidakhadiran Spanyol membuat Uni Soviet melenggang dengan mudah ke putaran final Piala Eropa 1960. Tim Uni Soviet tak terbendung dan menjadi juara Eropa pertama. Adapun Italia, Inggris, dan Jerman Barat juga tak ikut karena menganggap belum perlu berpartisipasi.
Franco Menelan Egoisme
Pergelaran kedua pada tahun 1964 belum lepas dari pertikaian. Giliran Spanyol menjadi tuan rumah dan Uni Soviet menjadi semifinalis. Kali ini, Franco harus menelan egonya agar tidak mengeruhkan perhelatan bergengsi. Ia mengizinkan tim Spanyol berlaga melawan Uni Soviet.
Untungnya, tim Spanyol bisa menaklukkan Soviet dengan gol dari penyerang Jesus Maria Pereda dan Marcelino Martinez. Uni Soviet hanya bisa membalas dengan satu gol dari penyerang Galimzyan Khusainov. Spanyol pun menjadi juara Eropa untuk pertama kali.
Pertikaian senjata antara Yunani dan Albania juga membuat Kapal Bajak Laut, julukan tim Yunani, menarik diri dari keikutsertaan Piala Eropa 1964. Albania menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1912 yang memicu kemarahan Yunani.
Sebagian wilayah Albania diklaim Yunani sebagai daerahnya sehingga memicu pernyataan perang kedua negara. Yunani menolak hadir dalam laga kualifikasi pertama Piala Eropa 1964 melawan Albania yang diadakan pada Maret 1963.
Keruntuhan komunisme pada awal dasawarsa 1990-an juga membawa dampak terhadap Piala Eropa 1992. Uni Soviet di ambang bubar. Beberapa wilayah Uni Soviet menyatakan lepas dan membentuk negara sendiri. Negeri Beruang Merah mulai limbung akibat perpecahan.
Estonia, Latvia, Lituania, dan Georgia berpisah dari Uni Soviet. Meski demikian, pemain Georgia, Kakhaber Tskhadadze, masih bergabung dengan skuad Uni Soviet yang berlaga di bawah panji Persemakmuran Negara-negara Independen.
Via: Warna Politik dalam Piala Eropa
No comments:
Post a Comment